Senin, 13 Oktober 2014

Dolly



Cerpen: Eko Darmoko

Aku terjebak dalam permainan Kelly Gardner. Pertemuanku dengannya untuk pertama kalinya di Selat Bali, pertengahan 2013 silam, membuatku terjerumus dalam dunia prostitusi. Kisah ini menjadi rumit dan panjang. Benang merah makin kusut dan tiada ujung.
Kelly memaksaku mendatangi kuburan bising di Kecamatan Sukun, di pinggiran Kota Malang. Aku dipaksa memugar jati diri mayat yang terpendam di salah satu gundukan tanah di kuburan itu.
            Masih segar dalam ingatan, di atas kapal yang mengantarkanku ke Pulau Bali, rambut pirang itu menari-nari disapu angin lautan. Mata birunya menelanjangi dasar Selat Bali. Dari hembusan nafasnya menyembul asap rokok mentol. Lama kupandangi dia. Tapi justru aku yang malu ketika pengintaianku diketahuinya.
            “Hai, kamu suka Tolstoi?” katanya sembari menunjuk kaos bergambar Tolstoi yang kupakai—kemampuan Bahasa Indonesia gadis ini sangat bagus. Dalam hati, aku memberinya nilai 100 plus dua jempol untuk Bahasa Indonesia yang ia ucapkan.
            “Siapa pun yang suka sastra, pasti suka dengan Tolstoi. Dia tidak hanya dikenal Rusia saja, seluruh dunia pun mengenalnya—meskipun dia tidak meraih Nobel,” jawabku sekenanya.
            “Kelly Gardner. Kamu boleh memanggilku Kelly,” ia memperkenalkan diri, kemudian aku juga menyebutkan namaku.

***

            7 Januari 1992, telah meninggal dunia perempuan gempal dan perkasa. Orang Surabaya mengenalnya dengan sebutan Dolly. Aku sendiri, sebagai peneliti bayaran, belum mengetahui nama aslinya. Padahal, Kelly—majikan yang mengupahku—berulang kali mendesakku agar secepatnya memberikan laporan perihal nama asli Dolly.
            “Sekarang sudah April 2014, sedangkan nama asli Dolly belum kamu dapatkan,” Kelly membalas email yang kukirimkan.
            “Data-data yang kamu kirimkan sudah kubaca. Besok pagi, waktu Surabaya, akan aku kirim bayaranmu,” sambungnya.
            Pekerjaan sampingan sebagai peneliti bayaran ini membuatku meninggalkan pekerjaan tetap sebagai kasir di pusat perbelanjaan di Surabaya. Dulu, sebelum bertemu dengan gadis asal Seattle Amerika itu, aku selalu berkencan dengan uang-uang belanja. Kini aku harus mengencani Dolly, keluarganya, dan yang mengerikan adalah mengencani kuburannya.
            Dua kali aku berziarah ke kuburan Dolly, di Kecamatan Sukun, pinggiran Kota Malang. Ziarah pertama, awal Januari 2014, gagal total. Aku bingung dan takut! Sudah kukitari luas kuburan itu, namun aku gagal menemukan gundukan tanah yang memendam mayat Dolly. Maklum, aku tidak tahu nama aslinya—sedangkan petunjuk untuk mencari makam seseorang adalah dengan melihat pahatan nama di nisan.
            Ziarah kedua, kulakukan di awal April 2014. Dengan kata kunci ‘7 Januari 1992’ aku memelototi satu per satu nisan yang ada di Kuburan Kecamatan Sukun itu. Akhirnya aku menemukannya. Identitas asli Dolly memang benar-benar dirahasiakan; di kayu nisannya memang tidak tertulis namanya. Yang ada hanya tulisan ‘Lahir 15 September 1929 – Wafat 7 Januari 1992’.
            Secara sembunyi-sembunyi, kupotret nisan itu menggunakan ponsel dan kukirimkan kepada Kelly di Seattle via email.
“Kau yakin itu kuburan Dolly?” tanya Kelly.
“Di kuburan Sukun, dari ratusan bangkai yang terpendam, hanya ada satu nisan dengan data kematian 7 Januari 1992. Keluarga Dolly memang senjaga merahasiakan identitas mendiang,” balasku.
“Okay, akhir April aku akan ke Jakarta—ada meeting dengan mafia bola. Mungkin nanti aku mampir ke Surabaya,” balas Kelly.

***

            Kapal yang membawaku, bersandar di pelabuhan. Obrolan tentang Tolstoi bersama Kelly berlanjut hingga di Pantai Kuta. Aneh, dia sangat percaya kepadaku. Semua kisah hidupnya diceritakannya padaku, padahal kami berkenalan belum genap sehari.
            “Aku sudah lama tinggal di Indonesia. Pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ibuku orang Prancis, Ayahku orang Amerika. Aku lahir di Jakarta, ketika orangtuaku bertugas di Jakarta 1984 silam. Sekarang Ibu, Ayah, dan adik perempuanku menetap di Seattle,” ceritanya.
            Aku menganggap cerita itu sebagai skenario film yang dibuat-buat. Aku masih masa bodoh menelan cerita itu. Bagiku, cerita mengenai jati dirinya tidaklah terlalu penting. Sebab, yang penting adalah sosoknya yang berdarah-daging. Tubuh indahnya membuatku menyepelekan cerita-ceritanya.
            “Matahari di sini memang bagus. Sayang untuk dilewati,” katanya sambil menelanjangi diri.
            T-shirt kuning yang membungkus tubuhnya sudah ditanggalkan. Jeans yang membalut kaki jenjangnya juga copot tergeletak di atas pasir. Dalam lindungan kutang dan cawat, Kelly menikmati guyuran panas Matahari.
            Lama kutelanjangi lekuk-lekuk tubuh gadis Seattle ini. Kuabaikan gadis berkutang dan bercawat lainnya yang bergentayangan di depanku. Sedangkan tubuhku, tubuh kurus ini masih setia mengenakan kemeja panjang motif kotak-kotak dipadu dengan jeans rombeng.
            “Kamu menginap di mana? Sebaiknya tinggal bersamaku, aku sudah memesan kamar hotel ukuran sedang, cukup untuk dua orang. Di Bali aku selama tiga hari, setelah itu aku akan ke Perth,” ajakan ini kubalas dengan anggukan kepala.
            Lumayan, sebagai backpacker yang bekerja sebagai kasir, ajakan ‘hidup bersama’ ini serasa oase di gurun tandus.

***

            Ziarah ke Kuburan Kecamatan Sukun masuk dalam agenda selanjutnya. Dari data yang kugali di lapangan—bermula dari pertemanan dengan simpatisan sebuah LSM, beberapa ghost writer, dan wartawan—aku menemukan keluarga Dolly. Handoyo, pria tua, tinggal di pusat Surabaya, adalah adik dari Dolly. Pak Han, begitu aku memanggilnya, banyak bercerita tantang Dolly. Rumah Pak Han aku sowani pada akhir Desember 2013
            Cerita-cerita Pak Han pun aku rupakan dalam tulisan ilmiah yang kemudian aku email-kan kepada Kelly. Membaca kiriman pertama, Kelly sangat girang. “Wow secepat ini kamu melakukannya. Kupas lebih dalam lagi ya!” tulisannya dalam email.
Dolly, lahir 15 September 1929 di Surabaya. Perempuan bertubuh gempal ini lahir dari rahim Ibu bernama Ani yang dinikahi pria Filipina bernama Darko Alfredo Chavit. Ia terlahir tidak menyandang nama ‘Dolly’. Nama ini muncul sebagai nama panggilan saja. Yang jelas namanya ada embel-embel nama keluarga ‘Chavit’.
“Dolly hanya nama panggilan sehari-hari yang diberikan Ayah Chavit,” kata Pak Han.
Pak Han enggan menceritakan perihal nama Dolly yang sesungguhnya. Ia tidak ingin mengorek masa lalu adiknya terlalu jauh—Pak Han membatasi ceritanya demi alasan privasi. Namun, yang membuatku senang, Pak Han menunjukkan foto Dolly semasa hidup. Terlihat Dolly sebagai perempuan bertubuh gempal, rambutnya pendek seperti rambut Demi Moore dalam film Ghost.
“Boleh saya merepro foto ini, Pak Han?”
“Jangan, cukup kamu lihat saja,” kata Pak Han, kemudian menyimpan foto itu dalam lemari lagi.
Sejak remaja, cerita Pak Han, Dolly dikenal sebagai sosok perempuan yang giat berbisnis—berjualan makanan dan minuman. Kegigihan Dolly dalam berbisnis, pun menghasilkan wujud nyata. Ia mampu membeli rumah di kawasan Dukuh Kupang bagian timur, Surabaya.
Kejayaan Dolly tak berhenti sampai di sini. Ia mampu membeli rumah-rumah lainnya. Kemudian, Tahun 1967, rumah yang di Dukuh Kupang ia sewakan kepada perempuan asal Lumajang bernama Titik Nurmala. Nahasnya, Titik justru menyulap rumah ini menjadi tempat prostitusi; sarang lendir.
Lambat laun, bisnis prostitusi yang dijalankan Titik berkembang pesat dan luas. Bahkan, Titik membeli dan menyewa rumah-rumah lainnya yang ada di sekitaran rumah Dolly—di Dukuh Kupang. Alhasil, prostitusi menjalar sampai ke wilayah Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan.
“Apa yang dirintis Titik inilah yang saat ini menghasilkan buah bernama Lokalisasi Dolly—konon dicap sebagai tempat esek-esek terbesar di Asia Tenggara. Sejak 1967 hingga sekarang, orang-orang menyebutnya Dolly, karena Titik membuka bisnisnya di rumah Dolly yang ia sewa. Orang-orang ambil gampangnya saja dengan menyebut Lokalisasi Dolly,” kata Pak Han.
“Jadi, keliru besar jika ada yang mengatakan adik saya Dolly yang merintis lokalisasi ini. Dan saya sering gerah jika ada yang menulis Dolly sebagai PSK yang kemudian menjadi germo. Titik-lah yang menjadi germo pertama di tempat itu,” tegas Pak Han.
Dolly menikah dengan pemuda bernama Soekop. Dari pernikahannya dengan Soekop, Dolly melahirkan putra bernama Edowar. Jiwa sosial Dolly, ungkap Pak Han, sangat tinggi. Dolly mempunyai banyak anak asuh.
“Dolly wafat kapan dan di mana, Pak Han? Nama aslinya siapa?” tanyaku memotong ceritanya yang mulai membosankan.
“Adik saya meninggal dunia 7 Januari 1992. Dia dimakamkan di Kuburan Kecamatan Sukun. Soal nama aslinya, biarlah keluarga saja yang tahu. Orang asing tidak perlu tahu,” katanya.
Mendengar sebutan ‘orang asing’ dari mulutnya, membuatku tersudut. Aku mendapati diriku sebagai kadal yang kaki dan lidahnya dikebiri.
Cerita Pak Han terus mengalir. Di kurun 1940-an, ayah Dolly, Darko Alfredo Chavit meninggal dunia dan dimakamkan di Kuburan Kembang Kuning, Surabaya. Sementara, Ibunya, Ani, kemudian menikah dengan lekaki asal Gresik bernama Subandi. Dari Subandi-lah, Ani dikaruniai dua orang putra.
“Dua putra itu adalah saya dan kakak saya. Saya dengan Dolly satu ibu, tapi beda bapak,” ucap Pak Han.
“Saya boleh berziarah ke kuburan Dolly, Pak Han?”
“Untuk apa? Apakah cerita-ceritaku belum cukup untuk bahan skripsimu?”
“Sudah cukup, Pak Han. Hanya saja, untuk menunjang skripsi ilmu sejarah, saya perlu memastikannya. Saya perlu mendatangi lokasi di mana objek saya dimakamkan. Boleh, Pak Han?”
“Silakan!”
“Lalu bagaimana saya menemukan kuburan Dolly di Sukun?”
“Cari saja nisan bertuliskan ‘Lahir 15 September 1929 – Wafat 7 Januari 1992’. Karena kami tidak mencantumkan nama di nisan itu,” tutupnya.
Pekerjaan dari Kelly memaksaku menjadi manusia dusta. Aku membohongi Pak Han. Kepada Pak Han, aku mengaku sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah yang sedang menggarap skrispsi tentang Lokalisasi Dolly.
Duh Gusti, maafkan hamba-Mu ini.
Usai sowan ke rumah Pak Han, beberapa hari kemudian aku berziarah ke kuburan Dolly.

***

            Di kamar hotel, di sekitaran Legian, Bali, aku dan Kelly banyak ngobrol. Kami membicarakan karya-karya Tolstoi, Hemingway, James Joyce, hingga Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer.
            “Kamu suka menulis? Bisa?” tanya Kelly.
            “Sering.”
            “Menulis apa?”
            “Cerpen! Cuma karena iseng saja.”
            “Bagus itu.”
            “Hah?”
            “Kalau kamu mau, aku punya tawaran bisnis buat kamu.”
            “Apa itu?”
            “Kamu dari Surabaya, kan? Aku butuh data-data mengenai Lokalisasi Dolly. Ya setidaknya tentang riwayat hidup Dolly. Kamu bisa menuliskannya dan mengirimkannya kepadaku.”
            “Data-data bagaimana maksudnya? Lalu buat apa?”
            “Buat bahan awal penelitianku. Aku akan meneliti soal Lokalisasi Dolly,” kata Kelly sambil ngeluyur ke kamar mandi. “Pikirkan dulu, aku punya fee yang lumayan untuk kamu. Selesai aku mandi, kamu harus beri jawabannya!”
            Pintu kamar mandi yang berbahan kaca buram, membuat lekuk-lekuk tubuh Kelly terlihat samar. Namun, anehnya, konsentrasiku bukan pada tubuhnya—aku memikirkan perihal tawarannya mengenai Dolly. Aku harus cepat memutuskannya.
            “Kel, aku minta rokoknya,” teriakku ke arah kamar mandi.
            “Ambil saja di ranselku!”
            Kubuka ransel Kelly. Isinya penuh dengan buku berbahasa Inggris dan beberapa lembar pakaian. Kulihat banyak buku tentang antropologi dan magnus opus dari Tolstoi War and Peace. Tak kusengaja, aku melihat keping kartu. Dari tulisan di kartu itu, kuketahui ternyata Kelly adalah mahasiswi Jurusan Antropologi di Amerika sana.
            “Kau temukan rokoknya?” Mendadak Kelly keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk.
            “Sudah. Ini!” kataku sambil menunjukkan batang rokok yang terkempit di jariku.
            “Setuju dengan tawaranku?” cerocosnya sambil melepas handuk yang membalut tubuhnya, kemudian mengenakan kutang, cawat, celana pendek, dan t-shirt.
            “Baiklah. Aku akan carikan data dan menuliskannya sebisaku,” kataku pasrah.
            “Okay, deal!!!” katanya riang.

***

            Semua data yang kugali mengenai Dolly kuanggap sudah selesai. Aku juga sudah merupakannya ke dalam tulisan ilmiah seperti permintaan Kelly. Kelly mengaku bersemangat ketika membaca tulisan-tulisanku tentang Dolly.
            “Kerja bagus, Kawan.”
            Tugas dari Kelly sudah selesai. Uang upah menjadi ‘pesuruhnya’ sudah di tangan. Kutaksir, upah ini bisa dipakai untuk ongkos liburan mengelilingi Pulau Jawa dengan jalur darat. Namun, yang aku sesalkan, pekerjaan tetapku sebagai kasir hilang begitu saja.
            “Aku sekarang di Jakarta—meeting dengan mafia bola sudah rampung. Nanti malam aku sudah ada di Surabaya. Aku ingin bertemu dan mentraktirmu. Aku punya tawaran bisnis lagi,” inbox email selalu dipenuhi kiriman dari Kelly.
            “Siap! Pagi ini aku masih di Malang. Nanti aku langsung pulang ke Surabaya dan bisa menemuimu,” balasku.
            Di Malang aku ingin menemui Dolly untuk terakhir kalinya. Ziarah ketiga ke kuburan Dolly perlu kulakukan sebagai tanda berakhirnya pekerjaanku menelanjangi masa lalunya.
            Kuburan Kecamatan Sukun, di pinggiran Kota Malang ini, terasa dingin dari sebelumnya. Butiran gerimis membuat bau tanah makin menyeruak menusuk hidung. Di dekat kayu nisan Dolly, aku termenung—kurasai rintik air mataku bercampur dengan butiran gerimis.
            “Nak, gerimisnya makin deras, sebaiknya berteduh dulu,” aku terkaget oleh sapaan bapak tua penjaga kuburan. “Berteduh di sana saja,” katanya sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan di pinggir komplek kuburan.
            Aku pun mengikuti langkahnya menuju bangunan itu. Sepatu kanvas yang kukenakan pun belepotan karena tanah basah.
            “Itu kuburan siapa? Dari dulu saya penasaran, kok tidak ada namanya. Hanya ada tanggal lahir dan tanggal wafat,” tanya bapak tua.
            “Itu buyut saya,” bohongku.
            Bapak tua itu terus menerkamku dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun, tak sehuruf pun keluar dari mulutku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan gelengan kepala.
            Kurasai cukup sowan ke kuburan ini. Aku putuskan kembali ke hotel kelas bandit yang kusewa dekat Stasiun Kota Malang. Selepas mandi di hotel, aku ngacir menunggangi motor menuju Surabaya.
            Kelly mentraktirku kopi di Plaza Surabaya. Kami mengambil tempat di teras kedai agar bisa merokok. Dia banyak bercerita tentang petualangannya di Perth. “Kau harus ke Perth, bila sempat. Di sana banyak backpacker dari bermacam-macam negara,” katanya.
            “Kamu tampak gemukan sekarang,” balasku disahuti petir yang menyambar malam Surabaya.
            “Oh iya, masak? Padahal akhir-akhir ini aku banyak makan junk food,” aku menganggukkan kepala.
            Dua cangkir kopi masih mengepulkan asap. Empat cincin donat membuat liur membasahi lidah. Aku ikuti gerakan Kelly menggigit donat itu. Sewaktu Kelly menyeruput kopi, aku juga menirukannya.
            “Aku ada tawaran bisnis lagi dan kamu harus setuju,” kata Kelly dengan mulut penuh tersumpal donat.
            “Apa itu?”
            “Aku penasaran dengan Pak Han, Titik Nurmala, Ani, Darko Alfredo Chavit, Edowar, Soekop, Subandi, dan semua sosok yang kamu tulis. Aku ingin kamu mengelupasnya satu per satu secara detail. Jangan sepotong-potong. Untuk pekerjaan ini, aku punya fee lebih besar. Fee ini bisa kamu gunakan untuk ongkos ke Kilimanjaro,” cerocosnya.
            “Bukankah kamu hanya menginginkan data-data soal Dolly saja? Dan semua tentangnya sudah aku berikan ke kamu.”
            “Iya, data soal Dolly sudah komplet. Tapi ini bisnis, dalam bisnis semua kemungkinan bisa terjadi, sekecil apa pun itu,” katanya.
            Aku tak punya pilihan lagi, selain menuruti semua pintanya. Lagian, hanya ini pekerjaan yang kumiliki—menjadi peneliti bayaran untuk gadis sinting asal Seattle. “Okay,” jawabku.
            Petir di malam Surabaya saling sahut-menyahut. Hujan bertambah deras. Lalu lalang orang membeku, mereka berteduh karena terjebak hujan. Sedangkan aku; aku terjebak dalam permainan Kelly Gardner.
            “Malam ini menginaplah bersamaku. Aku sudah memesan kamar di Hotel Oval,” pinta Kelly sambil mata birunya menelanjangi pedalaman mata hitamku.


Surabaya, 30 April 2014


*******

BIODATA SINGKAT PENULIS

Eko Darmoko, punya nama panggilan Rudi. Lahir 4 Juli 1986 di Surabaya. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya. Anggota Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya. Twitter @ekodarmoko

Nomer Ponsel: 085646035986

Sabtu, 11 Oktober 2014

Ayam Khayalan



Menjelang  makan siang, seperti biasa Endro berhamburan pulang ke rumah untuk makan siang. Setelah seharian penuh Endro, Eko, Edi dan Baskoro bermain layang-layang di sawah di desa sebelah. Namun berbeda dengan hari biasanya karena Endro mengajak salah satu temannya, Eko, untuk makan siang bersama di rumah Endro. Sambil jalan, diapun berkata dalam hati, “Wah kira-kira menunya apa ya hari ini?, lebih enak dari ayam goreng kemarin gak ya!”.
Perutnya yang keroncongan membuat dia terburu-buru masuk sambil berlari ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam. Ekopun tergopoh-gopoh mengikuti Endro yang berlari kencang.
Eko sambil melirik Endro berkata, “Cepat benar larimu, kayak dikejar setan saja?”.
“Ah kamunya aja yang lamban, masak gitu aja napasmu ngos-ngosan, payah!!!”, sahut Endro. Tidak seperti biasanya. Biasanya mereka mengucapkan salam ketika mau masuk rumah.
Ibu yang sedang menggoreng tempe di dapur kaget sekali ketika ada bunyi pintu tertutup kerasa sekali.”Siapa itu, nutup pintu keras banget bikin kaget saja!” batin ibu.
Endro bergegas menuju depan lemari es tuk mengambil air dingin. Dia lupa bahwa Eko ikut pulang bersamanya. Eko ditinggal di ruang tamu sendirian. Ketika Endro ke ruang depan sambil mau nyantai dia baru sadar kalau Eko sedang tergletak di atas lantai dalam keadaan sadar. Karena malas berdiri Endro dari menyuruh Eko mengambil air minum sendiri di belakang.
Endro berkata,“ko, ambil minum sendiri ya, malas bendiri ni!”.
Eko menyahut,” ya elah, tega sekali kau!”.
Endropun menimpali, “Dah Pe-We ni, sorry, anggap rumah sendiri saja, ok”.
Ekopun menjawab, “Ok deh kalo gitu”.
Setelah setengah jam bersantai ria sambil dikipasi angin buatan, akhirnya Endro dan Eko pergi ke dapur tuk mencari ibunya. Endropun mencari tahu masakan apa yang dimasak ibunya hari ini. Eko hanya mengEkori Endro kemana Endro pergi. Seperti seorang prajurit yang mengkawal rajanya.  
Endro bertanya, “Masak apa bu?”.
“Hari ini masak sayur asem, dek”, ibu menjawab.
Ibu biasa memanggil Endro dengan panggilan adek karena Endro adalah anak nomer dua dari dua bersaudara. Seperti budaya orang zaman sekarang yang memanggil putra-putrinya dengan sebutan kakak dan adek dengan tujuan agar lebih halus didengar oleh mereka.
“Yah, sayur asem lagi. Terus lauknya apa bu?” Endro penasaran
Ibu menjawab,”lauknya tempe, tahu dan lele goreng sama sambal, dek”.
“Ya udah kalau gitu biar aku pergi saja, bosan aku makan itu-itu melulu”, Endro berkata sambil berlari diikuti Eko yang ada di belakangnya.
Ibupun tak bisa mencegah perginya Endro. Pun juga sudah dimaklumi kalau Endro sudah punya keinginan, pastilah sulit untuk dibendung, malahan bisa nangis tanpa henti dia. Ibu berdo’a dalam hatinya, “Ya Alloh yang Maha baik, berilah petunjuk kepada anakku, amin”.
Endro mengambil layang-layang yang tadi diletakkan di depan rumah sambil mengajak Eko.
“Ko, ayo kita main layang-layang lagi, aku gak jadi lapar ni”, kata Endro.
“Ok ndro”. Ekopun menuruti perintah Endro.
Setelah bergegas ke sawah mereka menerbangkan layang-layang mereka. Tinggi, tinggi sekali layang-layang itu diterbangkan. Sambil menerbangkan layan-layang Endro mencari tempat tuk berteduh dari matahari. Eko, sambil memegangi benang laying-layangnya, lagi-lagi ikutan membuntuti langkah Endro. Karena memang siang itu matahari sangat terik sekali.
Hampir satu jam mereka duduk di bawah pohon tuk cari udara segar sembari menunggui layang-layang yang mereka terbangkan. Eko dan Endro mendengar sesuatu.
“Krucuk, krucuk, krurucuk, suara apa itu ko”, kata Endro.
Sambil mendekatkan telinganya ke sumber suara, Eko berkata, “Itu suara perutmu ndro, kamu tu lagi kelaparan”.
“Terus gimana dong?”, Tanya Endro.
Eko sambil tertawa menjawab,”Ya makanlah ndro, hahaha”.
Endro menimpali, “iya ko, maksud aku makan dimana, masak di rumah. Lauknya kan gak enak, gak mau aku ah”.
Ekopun mengusulkan ide ke Endro,”Gimana kalo makan ke rumahku aja, mau ga?, tapi ya seadanya gitu, gimana?”
Tanpa pikir panjang, Endro mengiyakan ajakan Eko untuk makan siang di rumahnya. Layang-layang yang sedang terbang diturunkan semua untuk dibawa pulang.
Setelah berjalan lima belas menit, akhirnya mereka sampai di rumahnya Eko. Rumah sederhana, biasa dan bersih. Eko mengucapkan salam untuk masuk ke rumah.
“Assalamualikum”, ucap Eko.
Dijawab dari dapur,”Waalaikumsalam Wr Wb”
Eko masuk ke dalam rumah diikuti Endro. Dia langsung mencium tangan ibunya ketika melihat ibunya datang dari dapur. Endro sebagai tamu jadi ikutan menyalami tangan ibunya Eko.
“Ibu, Eko udah lapar ni, Eko pengen makan”, Eko merayu ibu.
“Itu ibu sudah siapkan makanannya, tadi nungguin kamu gak pulang-pulang. Ayo, makan bersama-sama biar ramai”, ibu berkata.
Tikar digelar. Makanan diambil dari dapur seperti nasi, sayur, lauk-pauk, krupuk dan es teh. Ibu, Eko dan Endro mengangkuti makanan menuju ruang tamu. Keluarga Eko biasa makan di ruang tamu, lesehan di atas lantai. Mereka mulai siap makan. Makanan seadanya pun dilahap habis oleh mereka bertiga. Pada hal sayur nya sayur asem, lauknya pun tempe, tahu dan telur. Tidak ada yang istimewa bagi Endro. Tapi saat itu Endro paling semangat menyantap makanan tersebut.
Setelah acara makan siang selesai. Semuanya dibersihkan dan di bawa ke dapur. Yang tersisa tinggal tikar yang digelar dan juga es teh. Selanjutnya mereka ngobrol ngidul tak tentu arah hingga muncul juga pertanyaan tentang kenapa Endro tidak jadi makan di rumah.
“Oh iya ndro, kenapa kamu gak jadi makan di rumahmu tadi?” Tanya Eko penasaran
“Lauknya gak enak, jadi aku gak mau makan di rumah. Kan malu juga sama kamu” jawab Endro
Ibu ikut gabung dalam obrolan,”emang tadi lauknya apa ndro, kok gak enak?”
 Endro menjawab, “Lauknya tempe, tahu dan lele goreng sama sambal”.
“Lhoh bukannya lebih gak enak di sini thow lauknya, di sini kan cuma lauk tempe, tahu dan telur goreng”, ibu menjelaskan. Setelah menghela napas Ibu melanjutkan,“makanan enak atau tidaknya itu bukan terletak pada makannya, akan tetapi terletak pada bagaimana cara kita melihat dan menyikapi adanya makanan tersebut”.
“Maksudnya gimana itu bu, makanan enak itu kok bagaimana cara kita melihat dan menyikapi adanya makanan tersebut?”, Tanya Eko semakin penasaran. Endro ikut serius memperhatikan.
Ibu menjelaskan,”maksudnya, kalau umpamanya makanan yang tersaji itu tempe kita bisa kan membayangkannya ayam. Atau misalnya adanya cuma tahu, kita melihatnya sebagai rizki yang dianugerahkan Allah kepada kita. Apakah kita mau menolaknya gara-gara kita tidak suka rizki tersebut?. Ibu melanjutkan,”Kalau ibu ngasih permen ke Eko, terus Eko menolak permen itu kira-kira ibu marah gak?”. Tanpa menunggu jawaban ibu meneruskan,”semua yang ada pada kita syukuri saja. Kalau kita ingin makan sesuatu yang gak ada dihadapan kita, itu namanya tamak, tidak tahu terima kasih”. “Ujung-ujungnya kalau mau merasakan makanan yang diinginkan, ya cukup dibayangkan saja makanannya. Menunya tempe tapi membayangkan ayam yang ada di sajian tersebut”. Ibu menambahkan.
Eko mengangguk-ngangguk. Sedangkan Endro hanya tertunduk diam dan dalam hati akan meminta maaf kepada ibunya yang tadi dimarahinya setelah sampai di rumah nanti.

Sedan, 30&31-07-14