Cerpen: Eko Darmoko
Aku terjebak
dalam permainan Kelly Gardner. Pertemuanku dengannya untuk pertama kalinya di
Selat Bali, pertengahan 2013 silam, membuatku terjerumus dalam dunia
prostitusi. Kisah ini menjadi rumit dan panjang. Benang merah makin kusut dan
tiada ujung.
Kelly memaksaku
mendatangi kuburan bising di Kecamatan Sukun, di pinggiran Kota Malang. Aku dipaksa
memugar jati diri mayat yang terpendam di salah satu gundukan tanah di kuburan
itu.
Masih
segar dalam ingatan, di atas kapal yang mengantarkanku ke Pulau Bali, rambut
pirang itu menari-nari disapu angin lautan. Mata birunya menelanjangi dasar
Selat Bali. Dari hembusan nafasnya menyembul asap rokok mentol. Lama kupandangi
dia. Tapi justru aku yang malu ketika pengintaianku diketahuinya.
“Hai,
kamu suka Tolstoi?” katanya sembari menunjuk kaos bergambar Tolstoi yang
kupakai—kemampuan Bahasa Indonesia gadis ini sangat bagus. Dalam hati, aku
memberinya nilai 100 plus dua jempol untuk Bahasa Indonesia yang ia ucapkan.
“Siapa
pun yang suka sastra, pasti suka dengan Tolstoi. Dia tidak hanya dikenal Rusia
saja, seluruh dunia pun mengenalnya—meskipun dia tidak meraih Nobel,” jawabku
sekenanya.
“Kelly
Gardner. Kamu boleh memanggilku Kelly,” ia memperkenalkan diri, kemudian aku
juga menyebutkan namaku.
***
7
Januari 1992, telah meninggal dunia perempuan gempal dan perkasa. Orang Surabaya
mengenalnya dengan sebutan Dolly. Aku sendiri, sebagai peneliti bayaran, belum
mengetahui nama aslinya. Padahal, Kelly—majikan yang mengupahku—berulang kali
mendesakku agar secepatnya memberikan laporan perihal nama asli Dolly.
“Sekarang
sudah April 2014, sedangkan nama asli Dolly belum kamu dapatkan,” Kelly
membalas email yang kukirimkan.
“Data-data
yang kamu kirimkan sudah kubaca. Besok pagi, waktu Surabaya, akan aku kirim
bayaranmu,” sambungnya.
Pekerjaan
sampingan sebagai peneliti bayaran ini membuatku meninggalkan pekerjaan tetap
sebagai kasir di pusat perbelanjaan di Surabaya. Dulu, sebelum bertemu dengan
gadis asal Seattle Amerika itu, aku selalu berkencan dengan uang-uang belanja.
Kini aku harus mengencani Dolly, keluarganya, dan yang mengerikan adalah
mengencani kuburannya.
Dua
kali aku berziarah ke kuburan Dolly, di Kecamatan Sukun, pinggiran Kota Malang.
Ziarah pertama, awal Januari 2014, gagal total. Aku bingung dan takut! Sudah
kukitari luas kuburan itu, namun aku gagal menemukan gundukan tanah yang
memendam mayat Dolly. Maklum, aku tidak tahu nama aslinya—sedangkan petunjuk
untuk mencari makam seseorang adalah dengan melihat pahatan nama di nisan.
Ziarah
kedua, kulakukan di awal April 2014. Dengan kata kunci ‘7 Januari 1992’ aku
memelototi satu per satu nisan yang ada di Kuburan Kecamatan Sukun itu.
Akhirnya aku menemukannya. Identitas asli Dolly memang benar-benar
dirahasiakan; di kayu nisannya memang tidak tertulis namanya. Yang ada hanya
tulisan ‘Lahir 15 September 1929 – Wafat 7 Januari 1992’.
Secara
sembunyi-sembunyi, kupotret nisan itu menggunakan ponsel dan kukirimkan kepada
Kelly di Seattle via email.
“Kau yakin itu
kuburan Dolly?” tanya Kelly.
“Di kuburan
Sukun, dari ratusan bangkai yang terpendam, hanya ada satu nisan dengan data
kematian 7 Januari 1992. Keluarga Dolly memang senjaga merahasiakan identitas
mendiang,” balasku.
“Okay, akhir
April aku akan ke Jakarta—ada meeting dengan mafia bola. Mungkin nanti aku
mampir ke Surabaya,” balas Kelly.
***
Kapal
yang membawaku, bersandar di pelabuhan. Obrolan tentang Tolstoi bersama Kelly
berlanjut hingga di Pantai Kuta. Aneh, dia sangat percaya kepadaku. Semua kisah
hidupnya diceritakannya padaku, padahal kami berkenalan belum genap sehari.
“Aku
sudah lama tinggal di Indonesia. Pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Ibuku orang Prancis, Ayahku orang Amerika. Aku lahir di Jakarta, ketika
orangtuaku bertugas di Jakarta 1984 silam. Sekarang Ibu, Ayah, dan adik
perempuanku menetap di Seattle,” ceritanya.
Aku
menganggap cerita itu sebagai skenario film yang dibuat-buat. Aku masih masa
bodoh menelan cerita itu. Bagiku, cerita mengenai jati dirinya tidaklah terlalu
penting. Sebab, yang penting adalah sosoknya yang berdarah-daging. Tubuh
indahnya membuatku menyepelekan cerita-ceritanya.
“Matahari
di sini memang bagus. Sayang untuk dilewati,” katanya sambil menelanjangi diri.
T-shirt
kuning yang membungkus tubuhnya sudah ditanggalkan. Jeans yang membalut kaki
jenjangnya juga copot tergeletak di atas pasir. Dalam lindungan kutang dan
cawat, Kelly menikmati guyuran panas Matahari.
Lama
kutelanjangi lekuk-lekuk tubuh gadis Seattle ini. Kuabaikan gadis berkutang dan
bercawat lainnya yang bergentayangan di depanku. Sedangkan tubuhku, tubuh kurus
ini masih setia mengenakan kemeja panjang motif kotak-kotak dipadu dengan jeans
rombeng.
“Kamu
menginap di mana? Sebaiknya tinggal bersamaku, aku sudah memesan kamar hotel
ukuran sedang, cukup untuk dua orang. Di Bali aku selama tiga hari, setelah itu
aku akan ke Perth,” ajakan ini kubalas dengan anggukan kepala.
Lumayan,
sebagai backpacker yang bekerja sebagai kasir, ajakan ‘hidup bersama’ ini
serasa oase di gurun tandus.
***
Ziarah
ke Kuburan Kecamatan Sukun masuk dalam agenda selanjutnya. Dari data yang
kugali di lapangan—bermula dari pertemanan dengan simpatisan sebuah LSM,
beberapa ghost writer, dan wartawan—aku menemukan keluarga Dolly. Handoyo, pria
tua, tinggal di pusat Surabaya, adalah adik dari Dolly. Pak Han, begitu aku
memanggilnya, banyak bercerita tantang Dolly. Rumah Pak Han aku sowani pada akhir
Desember 2013
Cerita-cerita
Pak Han pun aku rupakan dalam tulisan ilmiah yang kemudian aku email-kan kepada
Kelly. Membaca kiriman pertama, Kelly sangat girang. “Wow secepat ini kamu
melakukannya. Kupas lebih dalam lagi ya!” tulisannya dalam email.
Dolly, lahir 15
September 1929 di Surabaya. Perempuan bertubuh gempal ini lahir dari rahim Ibu
bernama Ani yang dinikahi pria Filipina bernama Darko Alfredo Chavit. Ia
terlahir tidak menyandang nama ‘Dolly’. Nama ini muncul sebagai nama panggilan
saja. Yang jelas namanya ada embel-embel nama keluarga ‘Chavit’.
“Dolly hanya
nama panggilan sehari-hari yang diberikan Ayah Chavit,” kata Pak Han.
Pak Han enggan
menceritakan perihal nama Dolly yang sesungguhnya. Ia tidak ingin mengorek masa
lalu adiknya terlalu jauh—Pak Han membatasi ceritanya demi alasan privasi. Namun,
yang membuatku senang, Pak Han menunjukkan foto Dolly semasa hidup. Terlihat
Dolly sebagai perempuan bertubuh gempal, rambutnya pendek seperti rambut Demi
Moore dalam film Ghost.
“Boleh saya
merepro foto ini, Pak Han?”
“Jangan, cukup
kamu lihat saja,” kata Pak Han, kemudian menyimpan foto itu dalam lemari lagi.
Sejak remaja,
cerita Pak Han, Dolly dikenal sebagai sosok perempuan yang giat
berbisnis—berjualan makanan dan minuman. Kegigihan Dolly dalam berbisnis, pun
menghasilkan wujud nyata. Ia mampu membeli rumah di kawasan Dukuh Kupang bagian
timur, Surabaya.
Kejayaan Dolly
tak berhenti sampai di sini. Ia mampu membeli rumah-rumah lainnya. Kemudian, Tahun
1967, rumah yang di Dukuh Kupang ia sewakan kepada perempuan asal Lumajang
bernama Titik Nurmala. Nahasnya, Titik justru menyulap rumah ini menjadi tempat
prostitusi; sarang lendir.
Lambat laun,
bisnis prostitusi yang dijalankan Titik berkembang pesat dan luas. Bahkan,
Titik membeli dan menyewa rumah-rumah lainnya yang ada di sekitaran rumah
Dolly—di Dukuh Kupang. Alhasil, prostitusi menjalar sampai ke wilayah Jarak,
Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan.
“Apa yang
dirintis Titik inilah yang saat ini menghasilkan buah bernama Lokalisasi Dolly—konon
dicap sebagai tempat esek-esek terbesar di Asia Tenggara. Sejak 1967 hingga
sekarang, orang-orang menyebutnya Dolly, karena Titik membuka bisnisnya di
rumah Dolly yang ia sewa. Orang-orang ambil gampangnya saja dengan menyebut
Lokalisasi Dolly,” kata Pak Han.
“Jadi, keliru
besar jika ada yang mengatakan adik saya Dolly yang merintis lokalisasi ini.
Dan saya sering gerah jika ada yang menulis Dolly sebagai PSK yang kemudian menjadi
germo. Titik-lah yang menjadi germo pertama di tempat itu,” tegas Pak Han.
Dolly menikah
dengan pemuda bernama Soekop. Dari pernikahannya dengan Soekop, Dolly
melahirkan putra bernama Edowar. Jiwa sosial Dolly, ungkap Pak Han, sangat
tinggi. Dolly mempunyai banyak anak asuh.
“Dolly wafat
kapan dan di mana, Pak Han? Nama aslinya siapa?” tanyaku memotong ceritanya
yang mulai membosankan.
“Adik saya
meninggal dunia 7 Januari 1992. Dia dimakamkan di Kuburan Kecamatan Sukun. Soal
nama aslinya, biarlah keluarga saja yang tahu. Orang asing tidak perlu tahu,”
katanya.
Mendengar
sebutan ‘orang asing’ dari mulutnya, membuatku tersudut. Aku mendapati diriku
sebagai kadal yang kaki dan lidahnya dikebiri.
Cerita Pak Han
terus mengalir. Di kurun 1940-an, ayah Dolly, Darko Alfredo Chavit meninggal
dunia dan dimakamkan di Kuburan Kembang Kuning, Surabaya. Sementara, Ibunya,
Ani, kemudian menikah dengan lekaki asal Gresik bernama Subandi. Dari
Subandi-lah, Ani dikaruniai dua orang putra.
“Dua putra itu
adalah saya dan kakak saya. Saya dengan Dolly satu ibu, tapi beda bapak,” ucap
Pak Han.
“Saya boleh
berziarah ke kuburan Dolly, Pak Han?”
“Untuk apa?
Apakah cerita-ceritaku belum cukup untuk bahan skripsimu?”
“Sudah cukup,
Pak Han. Hanya saja, untuk menunjang skripsi ilmu sejarah, saya perlu
memastikannya. Saya perlu mendatangi lokasi di mana objek saya dimakamkan.
Boleh, Pak Han?”
“Silakan!”
“Lalu bagaimana
saya menemukan kuburan Dolly di Sukun?”
“Cari saja nisan
bertuliskan ‘Lahir 15 September 1929 – Wafat 7 Januari 1992’. Karena kami tidak
mencantumkan nama di nisan itu,” tutupnya.
Pekerjaan dari
Kelly memaksaku menjadi manusia dusta. Aku membohongi Pak Han. Kepada Pak Han,
aku mengaku sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah yang sedang menggarap
skrispsi tentang Lokalisasi Dolly.
Duh Gusti,
maafkan hamba-Mu ini.
Usai sowan ke
rumah Pak Han, beberapa hari kemudian aku berziarah ke kuburan Dolly.
***
Di
kamar hotel, di sekitaran Legian, Bali, aku dan Kelly banyak ngobrol. Kami
membicarakan karya-karya Tolstoi, Hemingway, James Joyce, hingga Chairil Anwar
dan Pramoedya Ananta Toer.
“Kamu
suka menulis? Bisa?” tanya Kelly.
“Sering.”
“Menulis
apa?”
“Cerpen!
Cuma karena iseng saja.”
“Bagus
itu.”
“Hah?”
“Kalau
kamu mau, aku punya tawaran bisnis buat kamu.”
“Apa
itu?”
“Kamu
dari Surabaya, kan? Aku butuh data-data mengenai Lokalisasi Dolly. Ya
setidaknya tentang riwayat hidup Dolly. Kamu bisa menuliskannya dan
mengirimkannya kepadaku.”
“Data-data
bagaimana maksudnya? Lalu buat apa?”
“Buat
bahan awal penelitianku. Aku akan meneliti soal Lokalisasi Dolly,” kata Kelly
sambil ngeluyur ke kamar mandi. “Pikirkan dulu, aku punya fee yang lumayan
untuk kamu. Selesai aku mandi, kamu harus beri jawabannya!”
Pintu
kamar mandi yang berbahan kaca buram, membuat lekuk-lekuk tubuh Kelly terlihat
samar. Namun, anehnya, konsentrasiku bukan pada tubuhnya—aku memikirkan perihal
tawarannya mengenai Dolly. Aku harus cepat memutuskannya.
“Kel,
aku minta rokoknya,” teriakku ke arah kamar mandi.
“Ambil
saja di ranselku!”
Kubuka
ransel Kelly. Isinya penuh dengan buku berbahasa Inggris dan beberapa lembar
pakaian. Kulihat banyak buku tentang antropologi dan magnus opus dari Tolstoi War and Peace. Tak kusengaja, aku
melihat keping kartu. Dari tulisan di kartu itu, kuketahui ternyata Kelly
adalah mahasiswi Jurusan Antropologi di Amerika sana.
“Kau
temukan rokoknya?” Mendadak Kelly keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut
handuk.
“Sudah.
Ini!” kataku sambil menunjukkan batang rokok yang terkempit di jariku.
“Setuju
dengan tawaranku?” cerocosnya sambil melepas handuk yang membalut tubuhnya,
kemudian mengenakan kutang, cawat, celana pendek, dan t-shirt.
“Baiklah.
Aku akan carikan data dan menuliskannya sebisaku,” kataku pasrah.
“Okay,
deal!!!” katanya riang.
***
Semua
data yang kugali mengenai Dolly kuanggap sudah selesai. Aku juga sudah
merupakannya ke dalam tulisan ilmiah seperti permintaan Kelly. Kelly mengaku
bersemangat ketika membaca tulisan-tulisanku tentang Dolly.
“Kerja
bagus, Kawan.”
Tugas
dari Kelly sudah selesai. Uang upah menjadi ‘pesuruhnya’ sudah di tangan. Kutaksir,
upah ini bisa dipakai untuk ongkos liburan mengelilingi Pulau Jawa dengan jalur
darat. Namun, yang aku sesalkan, pekerjaan tetapku sebagai kasir hilang begitu
saja.
“Aku
sekarang di Jakarta—meeting dengan mafia bola sudah rampung. Nanti malam aku sudah
ada di Surabaya. Aku ingin bertemu dan mentraktirmu. Aku punya tawaran bisnis
lagi,” inbox email selalu dipenuhi kiriman dari Kelly.
“Siap!
Pagi ini aku masih di Malang. Nanti aku langsung pulang ke Surabaya dan bisa
menemuimu,” balasku.
Di
Malang aku ingin menemui Dolly untuk terakhir kalinya. Ziarah ketiga ke kuburan
Dolly perlu kulakukan sebagai tanda berakhirnya pekerjaanku menelanjangi masa
lalunya.
Kuburan
Kecamatan Sukun, di pinggiran Kota Malang ini, terasa dingin dari sebelumnya.
Butiran gerimis membuat bau tanah makin menyeruak menusuk hidung. Di dekat kayu
nisan Dolly, aku termenung—kurasai rintik air mataku bercampur dengan butiran
gerimis.
“Nak,
gerimisnya makin deras, sebaiknya berteduh dulu,” aku terkaget oleh sapaan
bapak tua penjaga kuburan. “Berteduh di sana saja,” katanya sambil menunjuk ke
arah sebuah bangunan di pinggir komplek kuburan.
Aku
pun mengikuti langkahnya menuju bangunan itu. Sepatu kanvas yang kukenakan pun
belepotan karena tanah basah.
“Itu
kuburan siapa? Dari dulu saya penasaran, kok tidak ada namanya. Hanya ada
tanggal lahir dan tanggal wafat,” tanya bapak tua.
“Itu
buyut saya,” bohongku.
Bapak
tua itu terus menerkamku dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun, tak sehuruf pun
keluar dari mulutku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan gelengan kepala.
Kurasai
cukup sowan ke kuburan ini. Aku putuskan kembali ke hotel kelas bandit yang
kusewa dekat Stasiun Kota Malang. Selepas mandi di hotel, aku ngacir
menunggangi motor menuju Surabaya.
Kelly
mentraktirku kopi di Plaza Surabaya. Kami mengambil tempat di teras kedai agar
bisa merokok. Dia banyak bercerita tentang petualangannya di Perth. “Kau harus
ke Perth, bila sempat. Di sana banyak backpacker dari bermacam-macam negara,”
katanya.
“Kamu
tampak gemukan sekarang,” balasku disahuti petir yang menyambar malam Surabaya.
“Oh
iya, masak? Padahal akhir-akhir ini aku banyak makan junk food,” aku
menganggukkan kepala.
Dua
cangkir kopi masih mengepulkan asap. Empat cincin donat membuat liur membasahi
lidah. Aku ikuti gerakan Kelly menggigit donat itu. Sewaktu Kelly menyeruput
kopi, aku juga menirukannya.
“Aku
ada tawaran bisnis lagi dan kamu harus setuju,” kata Kelly dengan mulut penuh
tersumpal donat.
“Apa
itu?”
“Aku
penasaran dengan Pak Han, Titik Nurmala, Ani, Darko Alfredo Chavit, Edowar,
Soekop, Subandi, dan semua sosok yang kamu tulis. Aku ingin kamu mengelupasnya
satu per satu secara detail. Jangan sepotong-potong. Untuk pekerjaan ini, aku
punya fee lebih besar. Fee ini bisa kamu gunakan untuk ongkos ke Kilimanjaro,”
cerocosnya.
“Bukankah
kamu hanya menginginkan data-data soal Dolly saja? Dan semua tentangnya sudah
aku berikan ke kamu.”
“Iya,
data soal Dolly sudah komplet. Tapi ini bisnis, dalam bisnis semua kemungkinan
bisa terjadi, sekecil apa pun itu,” katanya.
Aku
tak punya pilihan lagi, selain menuruti semua pintanya. Lagian, hanya ini
pekerjaan yang kumiliki—menjadi peneliti bayaran untuk gadis sinting asal
Seattle. “Okay,” jawabku.
Petir
di malam Surabaya saling sahut-menyahut. Hujan bertambah deras. Lalu lalang
orang membeku, mereka berteduh karena terjebak hujan. Sedangkan aku; aku
terjebak dalam permainan Kelly Gardner.
“Malam
ini menginaplah bersamaku. Aku sudah memesan kamar di Hotel Oval,” pinta Kelly
sambil mata birunya menelanjangi pedalaman mata hitamku.
Surabaya, 30
April 2014
*******
BIODATA SINGKAT PENULIS
Eko Darmoko, punya nama panggilan Rudi.
Lahir 4 Juli 1986 di Surabaya. Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Airlangga Surabaya. Anggota Komunitas Sastra Cak Die Rezim
Surabaya. Twitter @ekodarmoko
Nomer Ponsel: 085646035986